anggon-anggon kapanjaluan :

"PANJALU TUNGGULING RAHAYU TANGKALING WALUYA, MANGAN KERANA HALAL, PAKE KERANA SUCI, TEKAD - UCAP - LAMPAH SABENERE"

Kamis, 22 April 2010

Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora?

Prabu Borosngora dan Prabu Bunisora
Bagi yang belum mengetahui, Prabu Borosngora atau Sanghyang Borosngora adalah Raja Panjalu (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ciamis Jawa barat) yang terkemuka. Di dalam Babad Panjalu diterangkan bahwa sang prabu kemudian memeluk Islam setelah menuntut ilmu di Mekkah kepada Sayidina Ali Bin Abi Thalib RA.  Sebagai cinderamata kepada seorang pangeran dari Panjalu, Sayidina Ali memberikan sebilah pedang, cis (tombak bermata dua atau dwisula) , pakaian kebesaran dan air zamzam kepada Sanghyang Borosngora.

Pedang pusaka dari Sayidina Ali ini sampai sekarang masih terpelihara, disimpan di Pasucian Bumi Alit dan disucikan atau dijamas pada setiap bulan Mulud (Rabiul Awal) dalam serangkaian upacara adat Nyangku. Sedangkan air zamzam dari Mekkah dijadikan air bibit untuk membuat Situ (danau) Lengkong di Panjalu.

Sanghyang Borosngora naik tahta sebagai Raja Panjalu menggantikan kakaknya Prabu Lembu Sampulur II lalu membangun kaprabon di Nusa Larang, sebuah pulau di tengah-tengah Situ Lengkong. Prabu Borosngora menurunkan dua orang putera yaitu Rahyang Kuning (Hariang Kuning) dan Rahyang Kancana (Hariang Kancana), di hari tuanya sang prabu lengser kaprabon dan menjadi mubaligh, menyiarkan agama Islam di Jampang (Sukabumi). Sumber Babad Panjalu tidak menerangkan dimana Prabu Borosngora dimakamkan setelah wafatnya.

Tahta Panjalu kemudian dipegang oleh anak tertuanya Rahyang Kuning, Rahyang Kuning kemudian digantikan oleh adiknya Rahyang Kancana. Rahyang Kancana mangkat dan dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong, sampai sekarang makam Prabu Rahyang Kancana selalu ramai dikunjungi para peziarah Islam dari seluruh Indonesia, termasuk almarhum Gus Dur.

Sisi menarik dari tokoh Prabu Borosngora dari Panjalu ini adalah adanya beberapa hal yang mengindikasikan kesamaan dirinya  dengan figur Prabu Bunisora atau Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati (1357-1371) dari Kemaharajaan Sunda.

Prabu Bunisora  adalah adik Maharaja Sunda bernama Maharaja Linggabuana yang gugur melawan pasukan Majapahit di palagan Bubat tahun 1357. Ketika itu putera mahkota Sunda, Niskala Wastu Kancana (adik Dyah Pithaloka) baru berusia sembilan tahun. Prabu Bunisora lalu diangkat sebagai wali bagi keponakannya itu atas tahta Sunda bergelar Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati, berkedudukan di ibukota Sunda, Kawali (Ciamis).
 
Prabu Bunisora mempunyai seorang puteri bernama Nay Ratna Mayangsari, sang puteri kemudian diperisteri Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang kemudian meneruskan tahta Sunda sebagai Maharaja di Kawali.

Prabu Bunisora setelah menyerahkan tahta kepada keponakannya hidup sebagai brahmana (pendeta, begawan, petapa, resi) yang sangat disegani di Jampang bergelar Batara Guru di jampang. Prabu Bunisora kemudian wafat dan dimakamkan di Geger Omas.

Keponakannya, Niskala Wastu Kancana setelah wafat dimakamkan di Nusa Larang.

Apakah Prabu Sanghyang Borosngora Raja Panjalu adalah Prabu Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati?

Ada beberapa hal yang mengindikasikan bahwa Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora:

1. Kemiripan lafal nama: Sanghyang Borosngora dengan Hyang Bunisora, dalam penyampaian kisah ataupun berita perbedaan pengucapan sering kali terjadi, misalnya: Rahyang dengan Hariang, Adipati dengan Dipati, Pucuk Umun dengan Pucuk Umum, Batara Semplak Waja dengan Batara Sempak Waja dan Batara Cepak waja, dlsb, padahal semuanya itu menunjukkan pada satu maksud yang sama.

2. Secara geografis Panjalu berbatasan langsung dengan Kawali (ibukota Kemaharajaan Sunda) sehingga wajar bila ada kaitan yang erat antara keduanya. Panjalu sendiri adalah salah satu kerajaan yang bernaung dibawah Kemaharajaan Sunda. Sangat dimungkinkan dalam sistem politik dan kenegaraan pada jaman itu bila Maharaja Linggabuana naik tahta sebagai Maharaja Sunda, sedangkan adiknya yaitu Hyang Bunisora diangkat sebagai Raja Panjalu.

3. Prabu Borosngora di hari tuanya menjadi mubaligh penyiar Islam di Jampang, sedangkan Prabu Bunisora setelah lengser kaprabon hidup sebagai brahmana bergelar Batara Guru di Jampang.

4. Prabu Bunisora Mangkubumi Suradipati dimakamkan di Geger Omas, belum diketahui secara pasti dimana letak Geger Omas, tetapi di Kecamatan Panjalu Ciamis terdapat sebuah desa yang berbatasan dengan Kecamatan Kawali bernama Desa Ciomas. Ciomas pernah menjadi ibukota Panjalu pada masa pemerintahan Rahyang Kancana sampai dengan Arya Wirabaya, tepatnya di Dayeuh (kota) Nagasari.

5. Di Desa Ciomas ini terdapat makam karomah leluhur:  Dalem Panghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi, nama Dalem Mangkubumi kembali mengingatkan kita dengan nama Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati.

6. Menurut Babad Panjalu, tokoh yang dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong adalah Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora, sedangkan menurut catatan Sejarah Sunda tokoh yang dimakamkan di Nusa Larang adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) keponakan sekaligus menantu Prabu Hyang Bunisora Mangkubumi Suradipati (1357-1371).

Jadi, apakah Prabu Borosngora dan Prabu Bunisora adalah pribadi yang sama? Sayang sekali sampai sekarang saya belum menemukan hasil penelitian ataupun data-data yang shahih (valid) yang bisa memastikan bahwa Prabu Borosngora adalah Prabu Bunisora, tetapi hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa keduanya adalah tokoh yang sama, perlu pendalaman lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini.

Minggu, 18 April 2010

Ribuan Warga Ikuti Upacara Nyangku



CIAMIS, (PRLM).- Ribuan warga mengikuti upacara adat Nyangku di Alun-alun Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kab. Ciamis, Kamis (11/3). Upacara berupa penyucian benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Panjalu, tidak berbeda jauh dengan sekaten di Yogyakarta atau pajang jimat di Cirebon.

Sementara itu warga yang berebut air bekas mencuci benda pusaka juga masih terlihat. Semula mereka hanya mendapatkan air yang diberikan oleh petugas. Dengan mempergunakan boteol besar petugas menuangkan air ke botol yang diacungkan warga.

Hanya saja karena banyak yang meminta, akhirnya tetap rebutan. Saat air dalam boptol akan habis air tersebut kemudian diciprat-cipratkan ke warga yang mengelilinginya.

Rebutan air itu sempat terhenti saat turun hujan deras yang mengguyur wilayah tersebut. Sebgaian berlarian mencari tempat berteduh, namun yang lainnya masih tetap bertahan di bawah panggung tempat mencuci benda pusaka. Warga kembali maju, setelah hujan berhenti. Begitu mendapatkan, ada yang langsung membasuh wajahnya dengan air tersebut, namun tidak sedikit yang membawanya pulang.

Untuk menghindari kemungkinan menyalah artikan air teresebut, pada bagian akhir sisa air yang masih dalam gentong besar yang ada di atas panggung setinggi hampir satu setengah meter, akhirnya ditumpahkan. Tidak kurang akal, beberapa orang yang masih bertahan di sekitar panggung, masih berupaya mendapatkan air tersebut untuk membasuh wajahnya.

"Biar awet muda. Kata orangtua, air bekas cucian itu juga bisa untuk menambah kesuburan tanaman. Saya hanya ikut-ikutan saja," ujar Neneng (35) warga Kawali yang datang bersama dengan beberapa teman lainnya.

Dia juga mengaku setiap tahun ikut upacara Nyangku. Hanya saja Neneng mengatakan suasana Nyangku kali ini lebih tertib apabila dibandingkan sebelumnya. "Secara umum sih sama. Cuma sekarang lebih enak, mungkin juga karena alun-alun sudah ditata rapi," tuturnya. (A-101/A-26).***

Nyangku Terdiri dari Beberapa Ritual



CIAMIS, (PRLM).- Upacara adat Nyangku di Alun-alun Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kab. Ciamis, Kamis (11/3) terdiri dari berbagai ritual. Pada intinya upacara tersebut adalah membersihkan benda benda pusaka peninggalan Kerajaan Panjalu, seperti pedang milik Prabu Sanghyang Borosngora, Goong, Kujang, Cis, Keris Bangreng dan lainnya.

Pedang yang diyakini sebagai pemberian dari Sayidina Ali tersebut tersebut menjadi maskot saat Nyangku. Pada pedang tersebut terdapat tulisan arab yang artinya Inilah pedang milik Syayidina Ali Karomallahu Wajnahu.

Setelah dicuci dan dikeringkan dengan cara diberi asap dupa dan beberapa bahan lainnya. Benda pusaka tersebut selanjutnya kembali dibawa ke Bumi Alit yang jaraknya sekitar 200 meter dari tempat itu.

Menurut sesepuh Panjalu, R.H. Atong Cakradinata pada hakekatnya upacara Nyangku adalah membersihkan diri dari segala sesuatu yang dilarang oleh agama Islam. Selain itu juga dapat kegiatan Nyangku dilaksankan oleh sesepuh keturunan Panjalu serta sejumlah anak keturunannya.

Sementara itu Bupati Ciamis Engkon Komara mengatakan meminta agar masyarakat tidak terseret dengan perbuatan atau tindakan syirik yang melenceng dari agama. Nyangku, lanjutnya merupakan kegiatan upacara adat yang mengadung banyak sekali nilai yang tersiratnya. Seperti pembersihan diri dari kegiatan jahat atau kotor.

"Jangan dikaitkan dengan hal yang berbau mistis, jadi tetap harus teguh pada ketauhidan pada Allah. Dan sebagai budaya, kegiatan tersebut juga harus dilestarikan. Nyangku juga sudah menjadi salah satu agenda pariwisata Ciamis," tuturnya seraya menabahkan kegiatan tersebut juga berdampak positif pada pergerakan perekonomian masyarakat.

Selain Bupati Ciamis Engkon Komara, ikut menyaksikan ritual tersebut adalah Kapolres Ciamis Ajun Komisari Besar Agus Santoso, Ketua DPRD Ciamis Asep Roni, serta jajaran pejabat Ciamis lainnya. (A-101/A-26).***

Upacara Adat Nyangku di Ciamis bukan Musyrik

Jumat, 12 Maret 2010 08:09 WIB

CIAMIS--MI: Bupati Ciamis Engkon Koswara menyatakan, upacara adat "Nyangku" yang selalu digelar setiap bulan Mulud di Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, bukan musyrik yang dilarang oleh ajaran agama Islam.

"Beberapa hal yang bisa diambil maknanya, acara Nyangku itu bukan musyrik, bukan menyembah alat-alat, bukan untuk menyembah keris, tetapi sebagai simbol penghormatan," kata Enkon dalam sambutan upacara Nyangku, di Alun-Alun Panjalu, Ciamis, Jawa Barat, Kamis (11/3).

Ia menjelaskan, upacara adat Nyangku merupakan penghormatan sebagai ungkapan terima kasih atas jasa-jasa leluhur Panjalu yang telah mendirikan negara dan menyebarkan ajaran agama Islam di tatar Galuh Ciamis di Panjalu.

Dikatakannya, Borosngora sebagai tokoh yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Panjalu wilayah Kabupaten Ciamis merupakan jasa berharga bagi masyarakat Panjalu.

Untuk itu, ia menegaskan upacara adat Nyangku bukan kegiatan ritual yang mengarah pada kemusyirikan melainkan ungkapan rasa syukur kepada Allah dalam tuntunan agama Islam yang disebarkannya melalui perjuangan Borosngora.

Bahkan kata Engkon, Borosngora merupakan orang yang telah menuntut ilmu ajaran agama Islam kepada Sayiddina Ali di Mekkah, hingga akhirnya dihadiahi pedang sebagai benda untuk menjaga diri.

Engkon menerangkan, pedang tersebut menjadi sebuah benda pusaka yang masih dilestarikan dan dijaga dengan baik oleh masyarakat Panjalu, hingga setiap upacara Nyangku benda tersebut  selalu dibersihkan.

Ia khawatir apabila upacara Nyangku sebagai ungkapan penghormatan hilang, apalagi seiring berkembangnya jaman dengan generasi masyarakat yang terus berlanjut. "Ini sebagai semangat dan dorongan bahwa budaya itu harus dimulai, kalau tidak dilaksanakan kegiatan ini, pada suatu saat budaya sejarah begitu indah hilang, dan kita akan kehilangan obor," katanya. (Ant/OL-03)

Ribuan Warga Padati Upacara Nyangku

Kamis, 11 Maret 2010 10:44 WIB

CIAMIS--MI: Ribuan warga menghadiri upacara adat tradisi Nyangku, di alun-alun Panjalu, Kecamatan Panjalau, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis (11/3).

Warga yang memadati lapangan alun-alun Panjalu menyambut kedatangan rombongan jemaah yang telah berziarah di makam Borosngora, Raja Panjalu yang dimakamkan di sebuah pulau Situ Lengkong.

Rombongan pembawa pusaka yang mengenakan pakaian muslimin dan muslimah beserta pakaian adat Sunda berjalan kaki bersamaan menuju alun-alun dengan jarak 500 meter.

Rombongan pembawa pusaka diiringi dengan lantunan musik rebana dan lantunan shalawatan menuju panggung di hadapan para ribuan masyarakat yang datang dari berbabagi daerah di Ciamis, maupun dari luar kota seperti Bandung, Jakarta, dan wilayah Jawa Timur.

Salah seorang panitia pelaksana tradisi Nyangku, Tatang, mengatakan tradisi tersebut sebagai penghormatan jasa kepada para leluhur Panjalu oleh warga keturunan Panjalu dengan melaksanakan semacam upacara adat disebut Nyangku.

Ia menjelaskan upacara tradisi tersebut dilaksanakan dengan membersihkan pusaka yang disakralkan masyakat Ciamis khususnya masyarakat Panjalu dan keturunan Raja Panjalu.

Upacara Nyangku merupakan kegiatan yang dinanti-nanti masyarakat Ciamis, khususnya warga Panjalu, sehingga akan dihadiri oleh ribuan orang, termasuk dihadiri oleh para pejabat pemerintahan Kabupaten Ciamis.

Lokasi upacara adat Nyangku dari pusat kota Ciamis sekitar 40 Km ke arah utara, sedangkan dari arah Bandung langsung menuju Panjalu menyusuri jalan raya Tasikmalaya bagian utara. (Ant/OL-01)

Penghormatan Leluhur Tatar Galuh Melalui Nyangku

Kamis, 11 Maret 2010 20:10 WIB 
Feri Purnama

Ciamis (ANTARA News) - Nyangku merupakan sebuah nama upacara adat untuk menghormati leluhur yang telah menyebarkan agama Islam di Tatar Galuh, daerah yang kini dikenal dengan Kabupaten Ciamis, bagian timur Jawa Barat.

Upacara itu digelar setiap tahunnya pada bulan Mulud pada kalendar Islam, di wilayah Kecamatan Panjalu. Kecamatan itu diyakini sebagai pusat Kerajaan Panjalu pada masa lalu.Upacara itulah yang dilaksanakan pada Kamis (11/3).

Acara yang digelar di Panjalu itu berlangsung hikmat dengan disaksikan ribuan masyarakat dari berbagai daerah, termasuk warga dan sesepuh Panjalu dan para pejabat pemerintah daerah Kabupaten Ciamis.

Menurut cerita yang terus diturunkan secara lisan di masyarakat Panjalu, Nyangku merupakan ungkapan terima kasih kepada sesepuh bernama Borosngora, yang telah membawa Islam ke wilayah Panjalu.

Sebagai ungkapan terima kasi itu,hingga sekarang masyarakat Panjalu tetap menjaga kelestarian alam dan budaya, dan tetap menggelar upacara Nyangku.

Berkat Borosngora pula, daerah itu memiliki nama besar karena dari sana berkembang agama Islam ke daerah yang lebih luas.

Namun, masyarakat setempat tidak mengetahui keberadaan makam Borosngora. Sedangkan anak dari Borosngora, yaitu Prabu Hariang Kencana Putra dimakamkan di Situ Lengkong.

Makam Hariang Kencana terdapat di sebuah pulau yang disebut dengan Nusa Larang di tanah seluas 40 hektare di tengah Situ Lengkong yang memiliki luas sekitar 70 hektare. Makam itu menjadi tempat ziarah upacara adat Nyangku.

Upacara itu dimulai dengan menggelar doa bersama kepada leluhur Panjalu. Kemudian diakhiri dengan membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Panjalu, termasuk sebuah perkakas utama sebuah pedang milik Borosngora.

Menurut cerita yang diyakini masyarakat setempat, pedang tersebut merupakan pemberian dari Sayidina Ali bin Abi Thalib RA kepada Borosngora sebagai hadiah telah lulusnya Borosngora belajar agama Islam di Mekah.

Hingga sekarang oleh masyarakat Panjalu di Tataran Galuh, pedang itu dianggap sebagai benda sakral. Masyarakat setempat meyakini bahwa air bekas mencuci pedang itu memiliki berbagai khasiat.

Sekarang benda-benda pusaka itu disimpan di sebuah tempat khusus. Tempat itu ada di museum yang disebut dengan Bumi Alit yang sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah.

Sementara itu, upacara Nyangku dengan membersihkan benda pusaka dilaksanakan secara hati-hati dengan menggelar adat dan tradisi yang teratur dan sakral.

Benda pusaka tersebut dibawa oleh para warga mengenakan pakaian khas adat sunda serta pakaian Muslim secara beriringan. Benda itu dibawa dari Bumi Alit menuju pulau Nusa Larang di Situ Lenkong yang berjarak sekitar 500 meter.

Musik rebana mengiring iring-iringan dengan berjalan kaki tersebut, dari Bumi Alit menuju Situ Lengkong. Rombongan menyeberangi Situ Lengkong menggunakan perahu menuju Nusa Larang tempat dimakamkannya Hariang Kencana.

Di tempat tersebut para pembawa benda pusaka dan sesepuh Panjalu menggelar doa dan shalawat kepada Nabi Muhammad dipimpin oleh juru kunci Bumi Alit, Aleh Wira Atmaja.

Usai shawalat di Nusa Larang benda pusaka tersebut dibawa kembali ke alun-alun Panjalu untuk dibersihkan di hadapan ribuan orang dan para pejabat pemerintah daerah.

Upacara penghormatan tersebut, kata Bupati Ciamis Engkon Koswara, bukan mengacu pada musyrik, melainkan pengabdian masyarakat sunda di Ciamis khususnya masyarakat Panjalu yang menghormati para leluhur, dan syariatnya memuji syukur kepada Allah SWT.

"Beberapa hal yang bisa diambil maknanya, acara Nyangku itu bukan musyrik, bukan menyembah alat-alat, bukan untuk menyembah keris, tetapi sebagai simbol penghormatan," kata Enkon.

Ia menjelaskan, acara tersebut sebagai penghormatan atas jasa-jasa leluhur yang telah bekerja keras dengan sekuat tenaga mendirikan negara, dan menyebarkan ajaran agama Islam di Tatar Galuh Ciamis melalaui Panjalu.

Untuk itu Bupati khawatir apabila upacara Nyangku hilang begitu saja, apalagi seiring berkembangnya zaman dengan generasi masyarakat yang terus berlanjut.

Menurut Bupati, seperti diamanatkan Borosngora, yang telah memberikan kehidupan bermakna dengan menyebarkan ajaran agama Islam kepada seluruh warga Panjalu dan Ciamis, hingga kini masyarakat setempat tetap berpegang teguh pada Islam.

"Ini sebagai semangat dan dorongan bahwa budaya itu harus diteruskan, karena kalau tidak kita akan kehilangan obor," katanya.(KR-FPM/S018)
COPYRIGHT © 2010